MAKALAH
SEJARAH
INDONESIA TERHADAP KOLONIALISME DAN IMPERIALISME
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Ø Sanan
Ø Raman
Ø Saryudin
Ø Suminah
Ø Umyati
Kelas
XI
MA HIDAYATUL UMMAH
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, atas karunianya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah Indonesia Terhadap
Kolonoalisme dan Imperialisme ”
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas kami. Dalam
penyusunan makalah ini tentu banyak kekurangan dan ketidak sempurnaan. Oleh
karena itu, kami mengharap saran kritik yang membangun. Tak lupa kami ucapkan
juga terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami dan pembaca sekalian.
Penysun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR
ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................
B. Tujuan .........................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap
Kolonialsme dan Imperialisme
B. Perlawanan di Maluku.................................................................
C. Perang Padri ( 1815-1837)...........................................................
D. Perlawanan Pangeran Dipenogoro (
1825-1830) ........................
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................
B. Saran...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada tanggal 4
Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil
memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun
benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen,
sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal
10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam
dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak
Agam.
Pada tanggal 14
Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso,
Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September
1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar
karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan
Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan
pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri
dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda
terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan
Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat
dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11]
Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal
17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.
B.
Tujuan
·
Menjelaskan
Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Kolonialsme dan Imperialisme
·
Menerangkan
Perlawanan bangsa indonesia di Maluku
·
Menganalisis
sejarah Perang Padri ( 1815-1837)
·
Mengupas
sejarah Perlawanan Pangeran Dipenogoro ( 1825-1830)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap
Kolonialsme dan Imperialisme
1. Perlawanan
Terhadap Portugis
a. Perlawanan Demak
Setelah berhasil menguasai Malaka, Portugis mendominasi
perdagangan di wilayah tersebut sehingga
merugikan jaringan pedagang Islam di Indonesia. Untuk melawan dominasi tersebut maka Raden Patah
mengirim pasukan untuk menyerang Portugis di bawah pimpinan putranya Adipati
Unus pada tahun 1513. Penyerangan ini mengalami kegagalan karena faktor jarak yang terlalu jauh dan
juga kalah dalam persenjataan dan
strategi perang. Ketika Portugis menguasai pelabuhan Sunda Kelapa, Demak
melakukan penyerangan kembali pada tahun
1527
di bawah pimpinan Fatahillah, Serangan ini berhasil dengan gemilang, sehingga Portugis harus
menunggalkan Sunda Kelapa yang namanya kemudian diganti menjadi
Jayakarta.
b. Perlawanan Ternate
Perlawanan Ternate
didorong oleh tindakan bangsa Portugis yang sewenang-wenang
dan merugikan rakyat. Perlawanan Ternate
dipimpin oleh Sultan Hairun, Portugis sempat kewalahan sehingga kemudian
menggunakan siasat licik dengan mengajak Sultan Hairun berunding namun kemudian
dibunuh. Peristiwa ini membuat marah rakyat Ternate yang kemudian mengadakan
serangan terhadap Portugis di bawah pimpinan Sultan Baabullah putra
Sultan Hairun. Portugis mengalami kekalahan dan terpaksa melarikan diri
menyingkir ke Timor Leste.
c. Perlawanan Aceh
Untuk melawan dominasi Portugis di Malaka, Kesultanan Aceh meminta bantuan
dari Turki dan India. Dengan bantuan dari Turki maupun kerajaan-kerajaan
lainnya, Aceh mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Malaka pada tahun
1568 di bawah pimpinan Sultan Alaudin Riayat Syah, namun penyerangan tersebut mengalami
kegagalan. Penyerangan terhadap Portugis dilakukan kembali pada masa Sultan
Iskandar Muda memerintah. Pada tahun 1629, Aceh menggempur Portugis di
Malaka dengan sejumlah kapal yang melibatkan 19.000 prajurit. Pertempuran
sengit tak terelakkan yang kemudian berakhir dengan kekalahan di pihak Aceh.
B.
Perlawanan di Maluku
Ekspedisi
bangsa Portugis ke Maluku di awali dengan mendaratnya bangsa Portugis di
Kerajaan Ternate pada tahun 1513 . Adapun tujuan bangsa Portugis melakukan
ekspedisi ke wilayah Maluku adalah untuk menjalin kerja sama di bidang
perdagangan terutama rempah- rempah denga kerajaan Ternate, Bacan, Tidore, dan
beberapa kerajaan kecil lainnya. Namun kerja sama yang dijalankan oleh Maluku
dan Portugis dikhianati oleh Portugis itu sendiri.
Adapun
bentuk pengkhianatan yang telah dilakukan oleh portugis yatu Portugis melakuka
usaha monopoli perdagangan remapah- rempah. Hingga pada akhirnya, pada tahun
1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh masyarakat Maluku, bahkan jawa
dan Irian Jaya untuk membantu kerajaan Ternate dalam mengusir Portugis di
wilayah Maluku. Namun, perlawanan tersebut hanya berakhir dengan adamya
perundingan damai dan masih memberikan kesempatan bangsa Portugis untuk tetap
tinggal di kerajaan Ternate tersebut.
Perlawanan
rakyat Maluku khususnya di kerajaan Ternate pecah lagi di tahun 1570, ketika
rakyat Maluku menyadari bahwasannya Portugis masih saja ingin menguasai
perdagangan di Maluku. Perlawanan tersebut bermula ketika bangsa Portugis
melakukan penyimpangan kembali yang mana benteng yang diizinkan oleh rakyat
Maluku untuk didirikan oleh Bangsa Portugis yang tersebut sebagai kantor dagang
, justru digunakan sebagai pertahanan bangsa Portugis untuk menguasai menjajah
daerah Maluku, khususnya daerah Ternate. Bahkan Bangsa Portugis pun telah
memaksa rakyat Maluku untuk menjual hasil rempah- rempahnya hanya kepada bangsa
Portugis, dan dilarang menjual rempah- rempah tersebut dengan pedagang lain.
Adapun
, perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Maluku kepada bangsa Portugis
tersebut dipimpin oleh Sultan Hairun . Namun sayangnya, Sultan Hairun dapat
diperdaya oleh bangsa Portugis dengan cara licik, hingga akhirnya Sultan Hairun
meninggal dengan cara yang mengenaskan di benteng Duurstede. Hingga akhirnya,
perlawanan rakyat Maluku pecah lagi dan perlawanan tersebut dipimpin oleh
Sultan Baabullah. Dalam melawan bangsa Portugis tersebut, Sultan Baabulah
mengerahkan segala kekuatannya , termasuk tentaranya untuk mengepung benteng
Portugis .
Hingga
pada akhirnya, Portugis menyerah dan telah dipaksa oleh Sultan Baabulah dan
rakyat Maluku untuk meninggalkan Ternate pada tahun 1575. Setelah, bangsa
Portugis tersebut telah meninggalkan (terusir) dari Maluku , khususnya kerajaan
Ternate , Portugis kemudian melanjutkan aksinya lagi ke lain wilayah yaitu
Ambon. Namun di wilayah tersebut, Bangsa Portugiis dikalahkan lagi oleh
saingannya, yaitu Belanda.
C.
Perang Padri
( 1815 – 1837 )
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang Padri dimulai dengan munculnya pe rtentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun
1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang
saudara yang melibatkan sesama Minang
dan Mandailing.
Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan
sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung
waktu itu Sultan Arifin Muningsyah.
Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda
pada tahun 1821.
Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun
1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri,
walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri
termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan
mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan
Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan
memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.
1.
Keterlibatan
Belanda
Karena terdesak
dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti,
maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar
meminta bantuan kepada Belanda
pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar
waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan
Kerajaan Pagaruyung.[7]
Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan
Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda,
kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan
Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda
dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang
dan Sulit Air
oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas
perintah Residen
James du Puy di Padang.[9]
Kemudian pada 8 Desember 1821
datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff
untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Fort
van der Capellen
Pada tanggal 4
Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil
memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun
benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen,
sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal
10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam
dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak
Agam.
Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso,
Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September
1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar
karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan
Renceh.
Setelah mendapat
tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau,
namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16
April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824
Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas
permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 raja terakhir
Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11]
Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal
17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.
Sementara pada
bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor
Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa
kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo
dan Ampang Gadang.
Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro
dan Kapau,
namun karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin
meninggal dunia di Padang.
2.
Gencatan
senjata
Perlawanan yang
dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda
untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang
mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol
untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15
November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah
Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa
dan Jawa
seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan
senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan
juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu
kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit
Marapalam, Kabupaten Tanah Datar
yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah yang artinya adat
Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam,
sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.
D.
Perlawanan
Pangeran Diponegoro (1825 – 1830)
Sejak
awal abad ke-18 Belanda memperluas daerah kekuasaannya dan berhasil menguasai
sebagian besar wilayah Mataram pada tahun 1812. Pengaruh Belanda mulai menyebar
di kalangan istana dan mengancam kehidupan agama Islam. Sebagai salah seorang
pemimpin negara dan pemuka agama, Pangeran Diponegoro tergerak untuk melakukan
perlawanan.
·
Sebab-sebab umum
1.
Rakyat menderita
akibat pemerasan Belanda dengan menarik pajak
2.
Kaum bangsawan
merasa dikurangi haknya, misalnya, tidak boleh menyewakan tanahnya.
3.
Adanya campur
tangan Belanda di istana, misalnya dalam pengangkatan sultan, mengubah tata
cara istana, sajian sirih dihapus, dan orang Belanda duduk sejajar dengan
sultan.
·
Sebab-sebab
khusus
Pembuatan
jalan melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro tanpa seizin di Tegalrejo
dianggap merupakan penghinaan sehingga Pangeran Diponegoro mengangkat senjata
pada tanggal 20 Juli 1825. Pembantu-pembantu Pangeran Diponegoro adalah Kiai
Mojo, Sentot Ali Basa Prawirodirjo, dan Pangeran Mangkubumi. Pusat pergerakan
ialah di Selarong. Sistem yang dipergunakannya adalah perang gerilya dan perang
sabil. Pangeran Diponegoro juga dianggap penyelamat negara dan seorang pemimpin
yang besar sehingga mendapat julukan "Sultan Abdul Hamid Erucokro
Amirulmukmin Syayidin Panotogomo Kalifatulah Tanah Jawa".
Karena
kuatnya perlawanan Pangeran Diponegoro belanda sampai membuat sayembara untuk
menangkapnya. Apabila ada yang berhasil menyerahkan Pangeran Diponegoro akan
mendapat uang 20.000 ringgit. Namun, tidak ada yang bersedia. Akhirnya Belanda
berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 dan dibawa ke
Batavia dengan kapal "Pollaz", terus diasingkan ke Manado. Pada tahun
1834 dipindahkan ke Makassar dan akhirnya wafat pada tanggal 8 Januari 1855.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kaum Adat berbalik
melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya
peperangan ini dapat dimenangkan Belanda. Perang Padri termasuk peperangan
dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa
raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga
berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan
perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.
B.
Saran
Karena
kuatnya perlawanan Pangeran Diponegoro belanda sampai membuat sayembara untuk
menangkapnya. Apabila ada yang berhasil menyerahkan Pangeran Diponegoro akan
mendapat uang 20.000 ringgit. Namun,
tidak ada yang bersedia. Akhirnya Belanda berhasil menangkap Pangeran
Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 dan dibawa ke Batavia dengan kapal
"Pollaz", terus diasingkan ke Manado. Pada tahun 1834 dipindahkan ke
Makassar dan akhirnya wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Sejarah-sejarah yang
penulis telah uraikan diatas sepatutnya kita harus mengetahuinya dan
memperjuangkan Negara kita sebagaimana nenek moyang kita telah berkorban demi
kedamaian dan terbentuknya Negara yang merdeka.
DAFTAR PUSTAKA