MAKALAH
PEMBENTUKAN DAERAH KAWASAN KHUSUS

Disusun oleh :
v RIAN ARDIANASYAH
v DENI FIRMANSYAH
v SAERI
v ALIAH
v LILIS SYUHYATI
v SRI HIDAYANTI
SMPN 2 JAYANTI
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu karakteristik dalam Negara Kesatuan seperti
Indonesia adalah adanya penyerahan beberapa urusan pemerintahan kepada
pemerintah yang ada di daerah yang disebut dengan otonomi daerah.
Otonomi daerah di Indonesia banyak mengalami perkembangan
dengan selalu berubahnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
otonomi daerah. Adanya otonomi urusan pemerintahan yang diberikan kepada
pemerintah daerah memberikan dampak yang kompleks dalam pelaksanaanya, meskipun
terkadang tujuan utama otonomi daerah untuk memberikan pelayanan masyarakat
agar lebih mudah sering tersisihkan oleh kepentingan elit politik.
Salah satu dampak dari merebaknya semangat otonomi di
Indonesia adalah dengan banyaknya daerah yang ingin melakukan pemekaran untuk
menjadi daerah otonom baru yang mempunyai pemerintahan tersendiri. Fenomena
pemekaran daerah yang semakin ramai ini menimbulkan ragam argumentasi, yakni
untuk mempermudah jarak jangkau masyarakat terhadap urusan administrasi.
Pelayanan terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan baik
apabila pemerintahan yang melaksanakan kewenangan otonomi itu telah siap untuk
mengemban tanggung jawab. Dalam melakukan pemekaran daerah ada beberapa
persyaratan yang harus dimiliki oleh daerah. Secara hukum syarat-syarat
pemekaran suatu wilayah untuk menjadi kabupaten/kota atau provinsi tidak
terlalu sulit. Di era otonomi daerah, hukum cukup memberikan kelonggaran kepada
daerah untuk melakukan pemekaran. Ini pula yang menjadi sebab mengapa sekarang
kita melihat banyak daerah yang “bernafsu” melakukan pemekaran mulai dari tingkat
kecamatan sampai ketingkat provinsi. Pemekaran wilayah diatur dalam UU No 32
tahun 2004. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang ini adalah: Pasal 4 (3)
“Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian
daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah
atau lebih.”
Pengaturan pemekaran daerah diapresiasi dengan muncul daerah
otonom baru dengan metode pemekaran, yakni penggabungan daerah atau pemekaran
satu daerah menjadi dua daerah, salah satunya terjadi daerah kabupaten
Tasikmalaya, dimana daerah tersebut telah melakukan pemekaran melalui
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2001 tentang pembentukan Kota Tasikmalaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Wacana Pemekaran Daerah Dalam
Bingkai Otonomi Daerah
Secara etimologis, otonomi diartikan sebagai pemerintahan
sendiri (auto=sendiri; nomos=pemerintahan), secara maknawi (Begrif),
otonomi mengandung pengertian kemandirian dan kebebasan mengatur dan mengurus
diri sendiri. Pemerintahan sendiri (self government, zelfstandigheid) menunjukan
satu pengertian keterikatan hubungan dengan satuan pemerintahan lain yang lebih
besar atau yang mempunyai wewenang satuan pemerintahan lain yang lebih besar
atau yang menjalankan fungsi khusus tertentu. Karena isi dan batas wewenangnya
dutentukan oleh satuan pemerintahan yang lebih besar, satuan pemerintahan
sendiri tidak berdaulat.[1]
Pengertian otonomi ini menunjukan adanya hubungan erat yang
tidak bisa dipisahkan antara suatu daerah yang mempunyai hak otonomi dengan
pmerintahan yang lebih besar dalam hal ini adalah pemerintah pusat dengan
adanya otonomi untuk menjalankan fungsi khusus dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Otonomi dapat ditentukan berdasarkan territorial (otonomi
territorial) ataupun berdasarkan fungsi pemerintahan tertentu (otonomi
fungsional), sehingga keduanya lazim disebut masing-masing dengan
desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Berdasarkan otonomi
teritorial, Negara sebagai satu keastuan territorial, dibagi-bagi kedalam
satuan-satuan pemerintahan territorial yang lebih rendah (lebih kecil) yang
dinamakan daerah otonom dibentuk dari dan oleh satuan pemerintahan yang lebih
besar (pemerintahan nasional).[2]
Selanjutnya Fungsi khusus ini menurut hemat penulis
adalah fungsi untuk menjalankan urusan pemerintahan yang bersifat khusus yang
dikecualikan menjadi hanya kewenangan pemerintah pusat. Disatu sisi kekhususan
ini berarti pengecualian atas urusan pemerintah yang hanya menjadi kewenangan
pemerintah pusat, tetapi disisi lain tetap tidak dapat dipungkiri akan betapa
luasnya kewenangan daerah dalam rangka melaksanakan hak otonomi bagi pemerintah
daerah. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter fiskal, agama.[3]
Pemahaman atas pemaknaan dan alasan pemilihan system
otonomi, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah bertolak dari 3(tiga) dasar:
yaitu kemandirian, permusyawaratan/perwakilan, dan kesejahteraan rakyat. Pertama,
kemandirian berarti fungsi kesejahteraan harus diusahakan untuk di lekatkan
pada satuan-satuan pemerintahan yang lebih dekat pada pusat-pusat kesejahteraan
rakyat. Otonomilah sebagai pilihan paling tepat untuk mewujudkan kesejahteraan
tersebut. Hakikat otonomi adalah “kemandirian”, walaupun bukan satu bentuk
kebebasan sebuah satuan pemerintahan yang merdeka. Kedua, Dasar
Permusyawaratan/perwakilan, berarti dasar ini merupakan pengejawantahan paham
kedaulatan rakyat (demokrasi) dibidang penyelenggaraan pemerintahan(politik).
Pembentukan pemerintahan daerah otonom adalah dalam rangka memberikan
kesempatan kepada rakyat setempat untuk secara lebih luas berperan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, baik dengan menyatakan kehendak, keinginan,
aspirasinya langsung maupun tak langsung melalui badan perwakilan rakyat. Ketiga,
Dasar Kesejahteraan Rakyat, bersumber baik pada kedaulatan rakyat dibidang
ekonomi (demokrasi ekonomi) maupun pada Negara berdasarkan atas hukum atau
Negara kesejahteraan. Kesejahteraan (rakyat) bertalian erat dengan sifat dan
pekerjaan pemerintah daerah yaitu pelayanan. Hal ini dilakukan antara lain
karena pusat lebih suka menunjuk pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas
pelayanan yang mendapat bantuan dari pusat. Semangat pelayanan tersebut harus
disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat setempat.[4]
Secara normatif, otonomi daerah adalah Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundangundangan.[5]
Dari pengertian diatas tergambar kesatuan Pemerintahan
Daerah yang diberi wewenang penuh untuk mengurus pemerintahan setempat berdasar
pada hak otonomi yang didasarkan pada kemandirian, permusyawarata/perwakilan
dan kesejahteraan rakyat. Pelayanan terhadap masyarakat menjadi salah satu
urusan yang diprioritaskan dalam eksistensi pemerintah daerah. Kedaulatan dan
kesejahteraan rakyat menjadi point penting yang harus diperhatikan oleh suatu
pemerintah daerah.
Terlepas dari sentiment kepentingan golongan elit politik di
daerah, banyak dari mereka yang menjadikan kesempatan otonomi yang luas ini
sebagai alasan untuk seolah-olah turut serta meringankan tugas pemerintah pusat
dalam menjalankan pelayanan masyarakat yang diembankan kepada pemerintah
daerah, diantaranya dengan berinisiatif untuk melakukan pembentukan daerah.
Pemerintah daerah yang secara yuridis diamanatkan oleh pasal 18 UUD Negara
Republik Indonesia dan telah melahirkan berbagai produk undang-undang dan
peraturan perundang-undangan lainya yang mengatur tentang pemerintahan daerah,
antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, terkahir perubahan terjadi pada Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 dengan di sahkanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam
peraturan tersebut ditegaskan bahwa fungsi dari pemerintahan daerah adalah
memberikan pelayanan pada masyarakat.[6]
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan amanat UUD Negara RI Tahun 1945 maka kebijakan politik hukum yang
ditempuh oelh pemerintah terhadap pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarkat, serta
peningkatan daya saing daerah, dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia.[7]
Pelayanan terhadap masyarakat yang beragam dengan banyak
populasi dipandang akan berjalan lebih lancar jika pihak yang terstruktru
didalam pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan, sesuai letak geografisnya
dalam artian tidak terlalu jauh dengan komunitas masyarakat daerah, sehingga
fenomena pembentukan daerah dengan tujuan pelaksanaan otonomi yang terjangkau
menjadi salah satu pilihan.
Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk
meningkatkan pelayanan public guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat di samping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal.[8]
Pemekaran daerah merupakan salah satu langkah yang timbul
dari semangat otonomi daerah di Negara kesatuan Republik Indonesia. Otonomi
daerah yang diharapkan dapat menjadi alternatif yang signifikan dalam
pelaksanaan segala urusan pemerintahan untuk memudahkan dan dalam rangka
optimalisasi pelayanan terhadap masyarakat.
Secara yuridis, konsep pemekaran daerah tertulis dalam
Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 dan di ganti
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, BAB II tentang Pembentukan Daerah dan
Kawasan Khusus. Yang mana pengaturan mengenai hal tersebut lebih terperinci
menjelaskan mengenai persyaratan pembentukan daerah.
Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk
meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat disamping sebagai saran pendidikan politik ditingkat lokal. Untuk
itu, pembentukan daerah harus memperhatikan beberapa factor, seperti kemampuan
ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari
aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan keamanan, serta pertimbangan
dan sayarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan
mewujudkan tujuan dibentuknya daerah dan diberikanya otonomi daerah.[9]
Faktor yang harus diperhatikan dalam pembentukan daerah telah secara umum
diatur dalam Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, yang lebih diperinci
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan dan
Kriteria pemekaran, Pengahapusan dan Penggabungan Daerah[10]
meliputi: pertama, syarat administratif yang berarti adanya persetujuan
dari DPRD dan Kepala Daerah induk dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam
Negeri. Kedua, syarat tekhnis yang mencakup factor kemampuan ekonomi,
potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,
pertahanan, keamanan dan factor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi
daerah.ketiga, syarat fisik meliputi paling sedikit lima kabupaten atau
kota untuk pembentukan provinsi, 5 kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4
kecamatan untuk pembentukan kota.
Pembentukan daerah pemerintahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, dapat dilakukan dengan cara penggabungan beberapa daerah
yang bersandingan menjadi satu daerah otonom, atau pemekaran dari satu daerah
menjadi dua daerah otonom.
Dalam
menyikapi fenomena pembentukan daerah ini, ada dua hal mendasar untuk mendapat
persetujuan pembentukan suatu daerah. Pertama secara filosofis, bahwa tujuan
pemekaran ada dua kepentingan yakni pendekatan pelayanan umum pemerintahan
kepada masyarakat, dan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara
politis, kehendak tersebut harus didasarkan atas kemauan atas aspirasi
masyarakat setempat yang diajukan kepada pemerintahan daerah setempat, yakni
pemerintah daerah dan DPRD. [11]
B.
Pembentukan Daerah, yang Justru
Meninggalkan Masalah
Pembentukan daerah yang bisa dilakukan melalui cara
pemnggabungan dan pemekaran ini seolah menjadi semangat baru para elite politik
untuk mengabdikan dirinya pada Negara dengan membentuk daerah otonom. Syarat
administratif yang berada dalam nuansa politik daerah menjadi pintu awal
terjadinya pembentukan daerah. Ketika persyaratan yang menjadi kriteria untuk
pembentukan daerah terpenuhi maka terjadilah daerah otonom baru yang secara
landasan filosofis ingin memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan
mensejahterkan rakyat, benarkah demikian?
Pada tanggal 17 oktober 2001 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001 Tentang
Pembentukan Kota Tasikmalaya. Keberadaan Kota Tasikmalaya merupakan proses
pembentukan daerah otonom melalui pemekaran daerah Kabupaten Tasikmalaya.
Proses pelaksanaan pemerintahan daerah atas pembentukan daerah memang tak
semudah yang kita bayangkan, apalagi harapan kita cukup besar akan pelayanan
masyarakat yang meningkat dan kesejahteraan masyarakat yang lebih riil akan
kita rasakan. Pemekaran Kabupaten Tasikmalaya dengan membentuknya daerah Kota
Tasikmalaya ternyata telah dan masih menyimpan masalah, salah satu yang
mengemuka adalah pembagian aset milik daerah, dan penyerahanya dari kabupaten
Tasikmalaya ke Kota Tasikmalaya.
Proses penyerahan Aset Daerah ini diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang tentang
Pembentukan Kota Tasikmalaya, sebagai berikut:
(1)
Untuk kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan Kota Tasikmalaya, Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen
yang terkait, Gubernur Jawa Barat, dan Bupati Tasikmalaya sesuai dengan
kewenangannya menginventarisir dan menyerahkan kepada Pemerintah Kota
Tasikmalaya, hal-hal yang meliputi:
a.
Pegawai yang karena tugasnya
diperlukan oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya;
b.
Barang milik/kekayaan negara/daerah
yang berupa tanah, bangunan, barang bergerak dan barang tidak bergerak lainnya
yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pemerintah, Provinsi Jawa
Barat dan Kabupaten Tasikmalaya yang berada di Kota Tasikmalaya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
c.
Badan Usaha Milik Daerah Provinsi
Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya yang kedudukan dan kegiatannya berada di Kota
Tasikmalaya;
d.
Utang-piutang Kabupaten Tasikmalaya
yang kegunaannya untuk Kota Tasikmalaya; dan
e.
Dokumen dan arsip yang karena
sifatnya diperlukan oleh Kota Tasikmalaya.
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) selambat-lambatnya diselesaikan dalam waktu satu tahun, terhitung sejak
diresmikannya Kota Tasikmalaya.
(3) Tata cara inventarisasi dan penyerahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada Undang-Undang diatas, nampaknya menyimpan masalah yang pelik untuk
mengurusi aset daerah Kabupaten Tasikmalaya yang seharusnya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya. Idealnya berdasar pada undang-undang
pembentukan Kota Tasikmalaya ini, penyerahan aset daerah Kabupaten Tasikmlaya
yang ada pada territorial Kota Tasikmalaya dan mendukung akan terselenggaranya
pelaksanaan pelayanan pada masyarakat dilaksanakan pada 17 Oktober 2002. Namun
pada kenyataanya sudah satu dasawarsa aset ini hanya menjadi bahan rebutan tak
tentu pangkal penyelesaian yang menguntungkan kedua belah pihak yang intinya
menguntungkan masyarakat yang akan menggunakanya, ketentuan tentang ini tidak
bisa dilaksanakan secara menyeluruh. Secara normatif Kabupaten Tasikmalaya
diharuskan memnyerahkan aset sebgaaiman dimaksud dalam pasal 14 diatas, namun
disisi lain penyerehan ini dianggap menguntungkan salah satu pihak yakni Kota
Tasikmalaya, dimana posisi Kabupaten Tasikmalaya yang membutuhkan banyak dana
untuk membangun kembali pusat pemerintahan baru dengan berbagai
infrastrukturnya untuk membangun ibu kota Kabupaten Tasikmalaya yang harus
pindah karena pusat ibu kota kabupaten sebelumnya berada di wilayah kota.
Untuk menyikapi sengketa aset daerah ini, berbagai cara
sudah ditempuh dari mulai share PAD, Pembentukan Tim Penyelasaian Aset baik di
lingkungan Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya dan termasuk Tim Fasilitasi
Penyerahan Aset dari Pemeirntahan Provinsi. perundingan yang di fasilitasi oleh
pihak Pemerintah Povinsi dan Menteri Dalam Negeri, belum bisa melaksanakan
secara keseluruhan penyerahan itu dilaksanakan.
Langkah terakhir yang dilakukan oleh Pemerintah Kota
Tasikmalaya pada tahun 2010/2011 meminta agar pemerintah provinsi dapat menjadi
fasilitas untuk proses penyerahan aset daerah dari kepemilikan Kabupaten
Tasikmalaya kepada Kota Tasikmalaya melalui surat Nomor 030/0334/Aset/2011.
Dari fenomena pembentukan daerah yang menyimpan masalah ini penulis menganilasa
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya aspek teleologis dari
pembentukan suatu daerah adalah untuk mempermudah akses pelayanan masyarakat
yang berlabuh pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Secara nalar
sosiologis, keberadaan masyarakat didaerah Kota Tasikmalaya pada keadaan
sebelumnya akses untuk mendapatkan pelayanan masyarakat tidak terlalu rumit dan
jauh pada pusat pelayanan administrasi pemerintahan daerah karena letak
geografis daerah kota-pun sudah dekat dengan pusat ibu kota pemerintahan daerah
sebelum dilakukanya pemekaran. Oleh karena itu, kepentingan politis cenderung
mendominasi pembentukan daerah, meskipun seharusnya jika syarat administrasi
itu merupakan kesekapatan pemerintah daerah induk yang dalam hal ini adalah
Kabupaten Taikmalaya, tapi pada kenyataanya menjadi masalah tersendiri meliputi
segala kebutuhan infrastuktur pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya.
Secara yuridis, langkah-langkah penyerahan aset daerah yang diatur dalam
Undang-Undang Pembentukan Kota Tasikmalaya pada pasal 14 telah ditempuh melalui
berbagai cara dengan mengoptimalkan pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Menteri
Dalam Negeri. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
pasal 38 mengatu mengenai Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaran pemerintah daerah kabupaten
dan kota. Selain itu ada juga kewenangan kepada Kementerian Dalam Dalam Negeri
dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004 Tentang Pedoman
pengelolaan barang daerah yang mengatur bahwa Pembinaan pengelolaan barang
daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri serta Pengawasan terhadap
pengelolaan barang daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepala
Daerah.
Pada kenyataanya langkah untuk mengoptimalkan pemerintah Provinsi dan Menteri
Dalam Negeri tidak dapat menjadi solusi, sehingga penulis berkesimpulan, jika pembentukan
Kota Tasikmalaya yang didalamnya ada peraturan dalam pasal 14 yang seandainya
merugikan salah satu pihak atau mungkin saja terjadi penafsiran yang berlainan
makan penyelesaian ke ranah sengketa lembaga daerah yang bisa dilaksanakan di
Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pilihan karena pada dasarnya permasalahan itu
terdapat pada Undang-Undang produk legislatif. Namun, jika ini terjadi mungkin
ada gengsi otonomi dimana ditakutkan adanya konklusi yang menunjukan
ketidakmampuan menyelenggarakan pemerintahan daerah yang padahal sebelumnya
sudah dilakukakan verifikasi dalam persyaratan pembentukan daerah, yakni syarat
administrasi, tekhnis dan fisik kewilayahan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada prinsipnya pembentukan suatu
daerah itu dimaksudkan untuk mempermudah dan membagi beban pemerintahan daerah
dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Pembentukan ini dapat dilakukan
dengan syarat-syarat kriteria pembentukan daerah yang harus dipenuhi meliputi
syarat administrasi, tekhnis dan fisik kewilayahan yang direkomdasikan melalui
gubernur dan menteri dalam negeri yang selanjutnya di godok di DPR untuk
disahkan melalui Undang-Undang Pembentukan Daerah.
B. Saran
Pembentukan daerah yang penuh dengan politis akan berdampak
pada pembentukan daerah yang menimbulkan masalah, selanjutnya proses penegasan
dari gubernur atau menteri dalam negeri yang akan diajukan ke DPR harus dilalui
secara seksama, dengan pertimbangan menyeluruh secara praktis turun ke lapangan
agar lebih mengetahui keadaan yang sesungguhnya di daerah induk dan yang akan
dibentuk sehingga pembentukan daerah tidak menimbulkan masalah.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar yang baik yah ?