Home » »



MAKALAH
PEMBENTUKAN DAERAH KAWASAN KHUSUS

https://scontent-b-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xap1/v/t1.0-9/1798770_10152290836975879_629296541_n.png?oh=3e0531fa14eba714efba9a4775089b8b&oe=551EBC45









Disusun oleh :
v  RIAN ARDIANASYAH
v  DENI FIRMANSYAH
v  SAERI
v  ALIAH
v  LILIS SYUHYATI
v  SRI HIDAYANTI




SMPN 2 JAYANTI
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu karakteristik dalam Negara Kesatuan seperti Indonesia adalah adanya penyerahan beberapa urusan pemerintahan kepada pemerintah yang ada di daerah yang disebut dengan otonomi daerah.
Otonomi daerah di Indonesia banyak mengalami perkembangan dengan selalu berubahnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Adanya otonomi urusan pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah daerah memberikan dampak yang kompleks dalam pelaksanaanya, meskipun terkadang tujuan utama otonomi daerah untuk memberikan pelayanan masyarakat agar lebih mudah sering tersisihkan oleh kepentingan elit politik.
Salah satu dampak dari merebaknya semangat otonomi di Indonesia adalah dengan banyaknya daerah yang ingin melakukan pemekaran untuk menjadi daerah otonom baru yang mempunyai pemerintahan tersendiri. Fenomena pemekaran daerah yang semakin ramai ini menimbulkan ragam argumentasi, yakni untuk mempermudah jarak jangkau masyarakat terhadap urusan administrasi.
Pelayanan terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan baik apabila pemerintahan yang melaksanakan kewenangan otonomi itu telah siap untuk mengemban tanggung jawab. Dalam melakukan pemekaran daerah ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh daerah. Secara hukum syarat-syarat pemekaran suatu wilayah untuk menjadi kabupaten/kota atau provinsi tidak terlalu sulit. Di era otonomi daerah, hukum cukup memberikan kelonggaran kepada daerah untuk melakukan pemekaran. Ini pula yang menjadi sebab mengapa sekarang kita melihat banyak daerah yang “bernafsu” melakukan pemekaran mulai dari tingkat kecamatan sampai ketingkat provinsi. Pemekaran wilayah diatur dalam UU No 32 tahun 2004. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang ini adalah: Pasal 4 (3) “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.”
Pengaturan pemekaran daerah diapresiasi dengan muncul daerah otonom baru dengan metode pemekaran, yakni penggabungan daerah atau pemekaran satu daerah menjadi dua daerah, salah satunya terjadi daerah kabupaten Tasikmalaya, dimana daerah tersebut telah melakukan pemekaran melalui Undang-Undang Nomor 10 tahun 2001 tentang pembentukan Kota Tasikmalaya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Wacana Pemekaran Daerah Dalam Bingkai Otonomi Daerah
Secara etimologis, otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri (auto=sendiri; nomos=pemerintahan), secara maknawi (Begrif), otonomi mengandung pengertian kemandirian dan kebebasan mengatur dan mengurus diri sendiri. Pemerintahan sendiri (self government, zelfstandigheid) menunjukan satu pengertian keterikatan hubungan dengan satuan pemerintahan lain yang lebih besar atau yang mempunyai wewenang satuan pemerintahan lain yang lebih besar atau yang menjalankan fungsi khusus tertentu. Karena isi dan batas wewenangnya dutentukan oleh satuan pemerintahan yang lebih besar, satuan pemerintahan sendiri tidak berdaulat.[1]  
Pengertian otonomi ini menunjukan adanya hubungan erat yang tidak bisa dipisahkan antara suatu daerah yang mempunyai hak otonomi dengan pmerintahan yang lebih besar dalam hal ini adalah pemerintah pusat dengan adanya otonomi untuk menjalankan fungsi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi dapat ditentukan berdasarkan territorial (otonomi territorial) ataupun berdasarkan fungsi pemerintahan tertentu (otonomi fungsional), sehingga keduanya lazim disebut masing-masing dengan desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Berdasarkan otonomi teritorial, Negara sebagai satu keastuan territorial, dibagi-bagi kedalam satuan-satuan pemerintahan territorial yang lebih rendah (lebih kecil) yang dinamakan daerah otonom dibentuk dari dan oleh satuan pemerintahan yang lebih besar (pemerintahan nasional).[2] 
 Selanjutnya Fungsi khusus ini menurut hemat penulis adalah fungsi untuk menjalankan urusan pemerintahan yang bersifat khusus yang dikecualikan menjadi hanya kewenangan pemerintah pusat. Disatu sisi kekhususan ini berarti pengecualian atas urusan pemerintah yang hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat, tetapi disisi lain tetap tidak dapat dipungkiri akan betapa luasnya kewenangan daerah dalam rangka melaksanakan hak otonomi bagi pemerintah daerah. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter fiskal, agama.[3]
Pemahaman atas pemaknaan dan alasan pemilihan system otonomi, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah bertolak dari 3(tiga) dasar: yaitu kemandirian, permusyawaratan/perwakilan, dan kesejahteraan rakyat. Pertama, kemandirian berarti fungsi kesejahteraan harus diusahakan untuk di lekatkan pada satuan-satuan pemerintahan yang lebih dekat pada pusat-pusat kesejahteraan rakyat. Otonomilah sebagai pilihan paling tepat untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut. Hakikat otonomi adalah “kemandirian”, walaupun bukan satu bentuk kebebasan sebuah satuan pemerintahan yang merdeka. Kedua, Dasar Permusyawaratan/perwakilan, berarti dasar ini merupakan pengejawantahan paham kedaulatan rakyat (demokrasi) dibidang penyelenggaraan pemerintahan(politik). Pembentukan pemerintahan daerah otonom adalah dalam rangka memberikan kesempatan kepada rakyat setempat untuk secara lebih luas berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik dengan menyatakan kehendak, keinginan, aspirasinya langsung maupun tak langsung melalui badan perwakilan rakyat. Ketiga, Dasar Kesejahteraan Rakyat, bersumber baik pada kedaulatan rakyat dibidang ekonomi (demokrasi ekonomi) maupun pada Negara berdasarkan atas hukum atau Negara kesejahteraan. Kesejahteraan (rakyat) bertalian erat dengan sifat dan pekerjaan pemerintah daerah yaitu pelayanan. Hal ini dilakukan antara lain karena pusat lebih suka menunjuk pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pelayanan yang mendapat bantuan dari pusat. Semangat pelayanan tersebut harus disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat setempat.[4]
Secara normatif, otonomi daerah adalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.[5]
Dari pengertian diatas tergambar kesatuan Pemerintahan Daerah yang diberi wewenang penuh untuk mengurus pemerintahan setempat berdasar pada hak otonomi yang didasarkan pada kemandirian, permusyawarata/perwakilan dan kesejahteraan rakyat. Pelayanan terhadap masyarakat menjadi salah satu urusan yang diprioritaskan dalam eksistensi pemerintah daerah. Kedaulatan dan kesejahteraan rakyat menjadi point penting yang harus diperhatikan oleh suatu pemerintah daerah.
Terlepas dari sentiment kepentingan golongan elit politik di daerah, banyak dari mereka yang menjadikan kesempatan otonomi yang luas ini sebagai alasan untuk seolah-olah turut serta meringankan tugas pemerintah pusat dalam menjalankan pelayanan masyarakat yang diembankan kepada pemerintah daerah, diantaranya dengan berinisiatif untuk melakukan pembentukan daerah. Pemerintah daerah yang secara yuridis diamanatkan oleh pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia dan telah melahirkan berbagai produk undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainya yang mengatur tentang pemerintahan daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, terkahir perubahan terjadi pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan di sahkanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa fungsi dari pemerintahan daerah adalah memberikan pelayanan pada masyarakat.[6]
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat UUD Negara RI Tahun 1945 maka kebijakan politik hukum yang ditempuh oelh pemerintah terhadap pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarkat, serta peningkatan daya saing daerah, dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.[7]
Pelayanan terhadap masyarakat yang beragam dengan banyak populasi dipandang akan berjalan lebih lancar jika pihak yang terstruktru didalam pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan, sesuai letak geografisnya dalam artian tidak terlalu jauh dengan komunitas masyarakat daerah, sehingga fenomena pembentukan daerah dengan tujuan pelaksanaan otonomi yang terjangkau menjadi salah satu pilihan.
Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan public guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal.[8]
Pemekaran daerah merupakan salah satu langkah yang timbul dari semangat otonomi daerah di Negara kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah yang diharapkan dapat menjadi alternatif yang signifikan dalam pelaksanaan segala urusan pemerintahan untuk memudahkan dan dalam rangka optimalisasi pelayanan terhadap masyarakat.
Secara yuridis, konsep pemekaran daerah tertulis dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 dan di ganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, BAB II  tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Yang mana pengaturan mengenai hal tersebut lebih terperinci menjelaskan mengenai persyaratan pembentukan daerah.
Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai saran pendidikan politik ditingkat lokal. Untuk itu, pembentukan daerah harus memperhatikan beberapa factor, seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan keamanan, serta pertimbangan dan sayarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya daerah dan diberikanya otonomi daerah.[9]
            Faktor yang harus diperhatikan dalam pembentukan daerah telah secara umum diatur dalam Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, yang lebih diperinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan dan Kriteria pemekaran, Pengahapusan dan Penggabungan Daerah[10] meliputi: pertama, syarat administratif yang berarti adanya persetujuan dari DPRD dan Kepala Daerah induk dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Kedua, syarat tekhnis yang mencakup factor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan dan factor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.ketiga, syarat fisik meliputi paling sedikit lima kabupaten atau kota untuk pembentukan provinsi, 5 kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota.
            Pembentukan daerah pemerintahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dapat dilakukan dengan cara penggabungan beberapa daerah yang bersandingan menjadi satu daerah otonom, atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah otonom.  
Dalam menyikapi fenomena pembentukan daerah ini, ada dua hal mendasar untuk mendapat persetujuan pembentukan suatu daerah. Pertama secara filosofis, bahwa tujuan pemekaran ada dua kepentingan yakni pendekatan pelayanan umum pemerintahan kepada masyarakat, dan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara politis, kehendak tersebut harus didasarkan atas kemauan atas aspirasi masyarakat setempat yang diajukan kepada pemerintahan daerah setempat, yakni pemerintah daerah dan DPRD. [11]


B.     Pembentukan Daerah, yang Justru Meninggalkan Masalah
Pembentukan daerah yang bisa dilakukan melalui cara pemnggabungan dan pemekaran ini seolah menjadi semangat baru para elite politik untuk mengabdikan dirinya pada Negara dengan membentuk daerah otonom. Syarat administratif yang berada dalam nuansa politik daerah menjadi pintu awal terjadinya pembentukan daerah. Ketika persyaratan yang menjadi kriteria untuk pembentukan daerah terpenuhi maka terjadilah daerah otonom baru yang secara landasan filosofis ingin memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan mensejahterkan rakyat, benarkah demikian?
            Pada tanggal 17 oktober 2001 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya. Keberadaan Kota Tasikmalaya merupakan proses pembentukan daerah otonom melalui pemekaran daerah Kabupaten Tasikmalaya.
            Proses pelaksanaan pemerintahan daerah atas pembentukan daerah memang tak semudah yang kita bayangkan, apalagi harapan kita cukup besar akan pelayanan masyarakat yang meningkat dan kesejahteraan masyarakat yang lebih riil akan kita rasakan. Pemekaran Kabupaten Tasikmalaya dengan membentuknya daerah Kota Tasikmalaya ternyata telah dan masih menyimpan masalah, salah satu yang mengemuka adalah pembagian aset milik daerah, dan penyerahanya dari kabupaten Tasikmalaya ke Kota Tasikmalaya.  
            Proses penyerahan Aset Daerah ini diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya, sebagai berikut:
(1)   Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan Kota Tasikmalaya, Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang terkait, Gubernur Jawa Barat, dan Bupati Tasikmalaya sesuai dengan kewenangannya menginventarisir dan menyerahkan kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya, hal-hal yang meliputi:
a.       Pegawai yang karena tugasnya diperlukan oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya;
b.      Barang milik/kekayaan negara/daerah yang berupa tanah, bangunan, barang bergerak dan barang tidak bergerak lainnya yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pemerintah, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Tasikmalaya yang berada di Kota Tasikmalaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.       Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya yang kedudukan dan kegiatannya berada di Kota Tasikmalaya;
d.      Utang-piutang Kabupaten Tasikmalaya yang kegunaannya untuk Kota Tasikmalaya; dan
e.       Dokumen dan arsip yang karena sifatnya diperlukan oleh Kota Tasikmalaya.
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya diselesaikan dalam waktu satu tahun, terhitung sejak diresmikannya Kota Tasikmalaya.
(3) Tata cara inventarisasi dan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
            Merujuk pada Undang-Undang diatas, nampaknya menyimpan masalah yang pelik untuk mengurusi aset daerah Kabupaten Tasikmalaya yang seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya. Idealnya berdasar pada undang-undang pembentukan Kota Tasikmalaya ini, penyerahan aset daerah Kabupaten Tasikmlaya yang ada pada territorial Kota Tasikmalaya dan mendukung akan terselenggaranya pelaksanaan pelayanan pada masyarakat dilaksanakan pada 17 Oktober 2002. Namun pada kenyataanya sudah satu dasawarsa aset ini hanya menjadi bahan rebutan tak tentu pangkal penyelesaian yang menguntungkan kedua belah pihak yang intinya menguntungkan masyarakat yang akan menggunakanya, ketentuan tentang ini tidak bisa dilaksanakan secara menyeluruh. Secara normatif Kabupaten Tasikmalaya diharuskan memnyerahkan aset sebgaaiman dimaksud dalam pasal 14 diatas, namun disisi lain penyerehan ini dianggap menguntungkan salah satu pihak yakni Kota Tasikmalaya, dimana posisi Kabupaten Tasikmalaya yang membutuhkan banyak dana untuk membangun kembali pusat pemerintahan baru dengan berbagai infrastrukturnya untuk membangun ibu kota Kabupaten Tasikmalaya yang harus pindah karena pusat ibu kota kabupaten sebelumnya berada di wilayah kota.
Untuk menyikapi sengketa aset daerah ini, berbagai cara sudah ditempuh dari mulai share PAD, Pembentukan Tim Penyelasaian Aset baik di lingkungan Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya dan termasuk Tim Fasilitasi Penyerahan Aset dari Pemeirntahan Provinsi. perundingan yang di fasilitasi oleh pihak Pemerintah Povinsi dan Menteri Dalam Negeri, belum bisa melaksanakan secara keseluruhan penyerahan itu dilaksanakan.
Langkah terakhir yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya pada tahun 2010/2011 meminta agar pemerintah provinsi dapat menjadi fasilitas untuk proses penyerahan aset daerah dari kepemilikan Kabupaten Tasikmalaya kepada Kota Tasikmalaya melalui surat Nomor 030/0334/Aset/2011.
            Dari fenomena pembentukan daerah yang menyimpan masalah ini penulis menganilasa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya aspek teleologis dari pembentukan suatu daerah adalah untuk mempermudah akses pelayanan masyarakat yang berlabuh pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Secara nalar sosiologis, keberadaan masyarakat didaerah Kota Tasikmalaya pada keadaan sebelumnya akses untuk mendapatkan pelayanan masyarakat tidak terlalu rumit dan jauh pada pusat pelayanan administrasi pemerintahan daerah karena letak geografis daerah kota-pun sudah dekat dengan pusat ibu kota pemerintahan daerah sebelum dilakukanya pemekaran. Oleh karena itu, kepentingan politis cenderung mendominasi pembentukan daerah, meskipun seharusnya jika syarat administrasi itu merupakan kesekapatan pemerintah daerah induk yang dalam hal ini adalah Kabupaten Taikmalaya, tapi pada kenyataanya menjadi masalah tersendiri meliputi segala kebutuhan infrastuktur pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya.
            Secara yuridis, langkah-langkah penyerahan aset daerah yang diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Kota Tasikmalaya pada pasal 14 telah ditempuh melalui berbagai cara dengan mengoptimalkan pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Menteri Dalam Negeri. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 38 mengatu mengenai Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaran pemerintah daerah kabupaten dan kota. Selain itu ada juga kewenangan kepada Kementerian Dalam Dalam Negeri dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004 Tentang  Pedoman pengelolaan barang daerah yang mengatur bahwa Pembinaan pengelolaan barang daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri serta Pengawasan terhadap pengelolaan barang daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepala Daerah.
            Pada kenyataanya langkah untuk mengoptimalkan pemerintah Provinsi dan Menteri Dalam Negeri tidak dapat menjadi solusi, sehingga penulis berkesimpulan, jika pembentukan Kota Tasikmalaya yang didalamnya ada peraturan dalam pasal 14 yang seandainya merugikan salah satu pihak atau mungkin saja terjadi penafsiran yang berlainan makan penyelesaian ke ranah sengketa lembaga daerah yang bisa dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pilihan karena pada dasarnya permasalahan itu terdapat pada Undang-Undang produk legislatif. Namun, jika ini terjadi mungkin ada gengsi otonomi dimana ditakutkan adanya konklusi yang menunjukan ketidakmampuan menyelenggarakan pemerintahan daerah yang padahal sebelumnya sudah dilakukakan verifikasi dalam persyaratan pembentukan daerah, yakni syarat administrasi, tekhnis dan fisik kewilayahan.
  
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pada prinsipnya pembentukan suatu daerah itu dimaksudkan untuk mempermudah dan membagi beban pemerintahan daerah dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Pembentukan ini dapat dilakukan dengan syarat-syarat kriteria pembentukan daerah yang harus dipenuhi meliputi syarat administrasi, tekhnis dan fisik kewilayahan yang direkomdasikan melalui gubernur dan menteri dalam negeri yang selanjutnya di godok di DPR untuk disahkan melalui Undang-Undang Pembentukan Daerah.

B.      Saran
Pembentukan daerah yang penuh dengan politis akan berdampak pada pembentukan daerah yang menimbulkan masalah, selanjutnya proses penegasan dari gubernur atau menteri dalam negeri yang akan diajukan ke DPR harus dilalui secara seksama, dengan pertimbangan menyeluruh secara praktis turun ke lapangan agar lebih mengetahui keadaan yang sesungguhnya di daerah induk dan yang akan dibentuk sehingga pembentukan daerah tidak menimbulkan masalah.


Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar yang baik yah ?

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. KUMPULAN MAKALAH TUGAS SEKOLAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by mp3 Lanka